Sebelum kita membaca laporan Greenpeace,
mari kita memahami terlebih dahulu apa itu batu bara ya..
Batu bara adalah salah satu bahan bakar fosil. Pengertian umumnya
adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik,
utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan. Unsur-unsur utamanya terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen.
Batu bara juga adalah batuan organik
yang memiliki sifat-sifat fisika dan kimia yang kompleks yang dapat ditemui
dalam berbagai bentuk.
Rumus formula empiris seperti C137H97O9NS
untuk bituminus dan C240H90O4NS untuk
antrasit.
Materi
pembentuk batu bara
Hampir seluruh pembentuk batu bara
berasal dari tumbuhan. Jenis-jenis tumbuhan pembentuk batu bara dan umurnya
menurut Diessel (1981) adalah sebagai berikut:
Alga, dari Zaman Pre-kambrium hingga
Ordovisium dan bersel tunggal. Sangat sedikit endapan batu bara dari periode
ini.
Silofita, dari Zaman Silur hingga Devon Tengah,
merupakan turunan dari alga. Sedikit endapan batu bara dari periode ini.
Pteridofita, umur Devon Atas hingga Karbon Atas.
Materi utama pembentuk batu bara berumur Karbon di Eropa dan Amerika Utara.
Tetumbuhan tanpa bunga dan biji, berkembang biak dengan spora dan tumbuh di
iklim hangat.
Gimnospermae, kurun waktu mulai dari Zaman Permian
hingga Kapur Tengah. Tumbuhan heteroseksual, biji terbungkus dalam buah,
semisal pinus, mengandung kadar getah (resin) tinggi. Jenis Pteridospermae
seperti gangamopteris dan glossopteris adalah penyusun utama batu bara Permian
seperti di Australia, India dan Afrika.
Angiospermae, dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis
tumbuhan modern, buah yang menutupi biji, jantan dan betina dalam satu bunga,
kurang bergetah dibanding gimnospermae sehingga, secara umum, kurang dapat
terawetkan.
Kelas dan jenis
batu bara
Berdasarkan tingkat proses
pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan, panas dan waktu, batu bara umumnya
dibagi dalam lima kelas: antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit dan gambut.
Antrasit adalah kelas batu bara tertinggi,
dengan warna hitam berkilauan (luster) metalik, mengandung antara 86% -
98% unsur karbon (C)
dengan kadar air kurang dari 8%.
Bituminus mengandung 68 - 86% unsur karbon (C) dan
berkadar air 8-10% dari beratnya. Kelas batu bara yang paling banyak ditambang
di Australia.
Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak
air, dan oleh karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien dibandingkan
dengan bituminus.
Lignit atau batu bara coklat adalah batu
bara yang sangat lunak yang mengandung air 35-75% dari beratnya.
Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas
75% serta nilai kalori yang paling rendah.
Pembentukan
batu bara
Proses perubahan sisa-sisa tanaman
menjadi gambut hingga batu bara disebut dengan istilah pembatu baraan (coalification).
Secara ringkas ada 2 tahap proses yang terjadi, yakni:
Tahap
Diagenetik atau Biokimia, dimulai pada
saat material tanaman terdeposisi hingga lignit terbentuk. Agen utama yang
berperan dalam proses perubahan ini adalah kadar air, tingkat oksidasi dan
gangguan biologis yang dapat menyebabkan proses pembusukan (dekomposisi) dan
kompaksi material organik serta membentuk gambut.
Tahap Malihan
atau Geokimia, meliputi
proses perubahan dari lignit menjadi bituminus dan akhirnya antrasit.
Laporan Greenpeace: Selain Merusak Lingkungan, Industri Batubara Melukai
Perekonomian Indonesia
Ringkasan
Eksekutif
Selama sepuluh tahun terakhir,
Indonesia telah mengalami pertumbuhan luar biasa di sektor pertambangan
batubara yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan meningkatnya produksi dan
ekspor batu bara sebesar lima kali lipat antara tahun 2000 dan 2012. Meskipun
pertumbuhannya meningkat sangat pesat, sektor batubara menyumbang hanya 4% dari
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dengan prospek pertumbuhan di masa depan
yang lebih terbatas. Eksplotasi batubara yang masif ini harus dibayar dengan
biaya besar terhadap ekonomi nasional, sektor - sektor ekonomi lainnya serta
mata pencaharian penduduk Indonesia di daerah – daerah terkena dampak.
Indonesia hanya menguasai 3%
cadangan batubara dunia, tetapi perusahaan yang beroperasi di sini telah
mengeksploitasinya secepat mungkin. Selama dekade terakhir, produksi telah
menggelembung, mencapai lebih dari 450 juta ton pada tahun 2012. Sebagian besar
batubara yang dihasilkan dari tambang - tambang Indonesia diekspor ke Cina dan
negara - negara Asia lainnya, sementara konsumsi batubara dalam negeri
masih relatif datar (lihat Gambar 1).
Pada tahun 2011, Indonesia mengalahkan
Australia sebagai eksportir batubara terbesar di dunia.
Greenpeace meluncurkan
laporan terbaru berjudul “Batubara Melukai Perekonomian Indonesia”. Dalam
laporan tersebut Greenpeace mengungkapkan bahwa industri ekstraktif batubara
yang diharapkan dapat menjadi penggerak utama perekonomian Indonesia, justru
telah melukai ekonomi nasional, memperburuk kemiskinan, dan mengancam
penghidupan masyarakat yang tinggal di sekitar operasi pertambangan batubara.
Sejak tahun 2011, Indonesia telah menjadi pengekspor batubara terbesar di
dunia, mengalahkan Australia. Selama sepuluh tahun terakhir, Indonesia
mengalami pertumbuhan luar biasa di sektor pertambangan batubara yang belum
pernah terjadi sebelumnya, produksi batubara meningkat mencapai lebih dari 450
juta ton pada tahun 2012.
Meskipun pertumbuhannya meningkat sangat pesat, sektor batubara menyumbang
hanya 4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dengan prospek pertumbuhan
di masa depan yang lebih terbatas.
Industri ekstraktif seperti pertambangan batubara mengguncang perekonomian
Indonesia, menyebabkan fluktuasi besar dalam neraca pembayaran dan nilai tukar.
Dampak dari fluktuasi ini juga menghambat pembangunan jangka panjang industri
dengan nilai tambah yang lebih tinggi karena mengalihkan dan menghalau
investasi modal awal.
Industri batubara menggambarkan dirinya sebagai penggerak utama
perekonomian Indonesia. Pada kenyataannya, batubara adalah industri bernilai
rendah yang menyebabkan kerusakan berlebihan kepada mata pencaharian,
memperburuk kemiskinan dan berkontribusi minim terhadap PDB secara keseluruhan,
dan bahkan prospek pertumbuhan di masa depan yang lebih rendah. Dengan kata
lain, industri batubara justru telah melukai perekonomian di Indonesia.
“Pengembangan batubara tidak membantu masyarakat miskin pedesaan, karena
pertambangan batubara justru membawa dampak yang sangat negatif pada pertanian,
perikanan dan sektor lain dimana jauh lebih banyak orang bergantung untuk
penghidupannya,” kata Arif Fiyanto, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace
Indonesia.
Selain itu, terdapat kelemahan sistemik di pasar batubara global, dan tidak
bijaksana bila Indonesia terus berinvestasi dalam meningkatkan kapasitas ekspor
batubara. Permintaan impor batubara Cina cenderung melemah, dengan berbagai
faktor yang mendorong turunnya permintaan.
Salah satu faktornya adalah bahwa selama dua tahun terakhir, tingkat
polusi di Cina telah mencapai mencapai rekor dengan tingkat PM 2,5 (polusi
partikulat kecil berukuran diameter 2,5 mikrometer) pada Januari 2013. Ini
adalah lebih dari 30 kali tingkat yang aman menurut Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) yaitu 25 mikrogram per meter kubik.
Selain itu kebijakan baru di 26 provinsi di China untuk memangkas produksi
dan konsumsi batubara akan mengurangi permintaan batubara China secara
signifikan.
“Pemerintah harus
segera menghentikan pembangunan ekonomi yang berbasis pada energi kotor
batubara, seperti dampaknya yang merusak lingkungan dan mengganggu kesehatan
warga. Apabila Indonesia masih terus melanjutkan pembangunan ekonomi yang
bertopang pada batubara, maka dalam jangka panjang batubara dapat melukai
perekonomian Indonesia, dan menjauhkan negara ini dari jalur pembangunan
ekonomi rendah karbon,” pungkasnya.
Kesimpulan
Perekonomian Indonesia sekarang
adalah ke-16 terbesar di dunia, dengan basis manufaktur yang kuat, sektor jasa
yang hidup dan besar, dan pasar konsumen yang berkembang pesat. Negara ini
tidak perlu ekspor batubara, industri dengan nilai rendah tetapi berdampak
negatif yang besar pada masyarakat dan untuk kemakmuran masadepan.
Ekspor batubara yang tidak
terkontrol hanya menyebabkan ketidakstabilan ekonomi makro yang tidak
diinginkan, sementara gagal untuk memberikan manfaat bagi masyarakat setempat.
Insentif publik dan investasi yang diarahkan ke industri batubara akan menghasilkan
lebih banyak pekerjaan, kemakmuran dan pertumbuhan jika dialihkan pada
investasi jasa, industri hi-tech, dan manufaktur –termasuk energi terbarukan.
Kekuatan besar dunia seperti Cina
dan Amerika Serikat telah sadar akan bahaya pembangunan berbasis batubara. Hal
ini telah menyebabkan jatuhnya prakiraan permintaan di negara-negara ini, dan
memicu kelebihan pasokan besar di pasar.
Untuk menjamin pertumbuhan ekonomi
yang inklusif, Indonesia perlu cerdas dan meningkatkan daya saingdan
produktivitas sektor-sektor non-komoditas –apa yang disebut Morgan Stanley
sebagai “Reformasi Struktural 2.0”.
Masa depan bisa
menjadi bebas batubara tanpa menjadi miskin.